Jakarta — Pengusaha asal Bali, Budiman Tiang, mengungkap dugaan penipuan yang dilakukan oleh dua oknum warga negara asing (WNA) asal Rusia terkait kerja sama pembangunan properti di Bali. Melalui juru bicaranya, Ade Ratnasari, Budiman menyampaikan kronologi serta sejumlah bukti dugaan pelanggaran dalam konferensi pers di Caribbe Coffee, Tomang, Jakarta Barat, Senin (24/11/2025).
Dalam pernyataannya, Ade menjelaskan bahwa kerja sama antara Budiman Tiyang dan para oknum WNA tersebut tertuang dalam Perjanjian Kerja Sama (PKS) Nomor 33 tanggal 24 Desember 2021. Di dalam perjanjian tersebut, Budiman sebagai pihak pertama menyediakan tanah berstatus HGB sebagai lokasi pembangunan rumah kos dan unit komersial. Sementara pihak kedua—yakni perusahaan yang dipimpin oleh WNA Rusia tersebut—berkewajiban menyediakan modal pembangunan hingga bangunan dapat dioperasikan secara komersial.
Namun, menurut Ade, kewajiban tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana kesepakatan. Ia membeberkan bahwa pihak kedua justru diduga menerima pembayaran pembelian atau penyewaan unit melalui akun crypto pribadi milik direktur WNA, bukan melalui rekening perusahaan sebagaimana mestinya. “Pertanyaan kami sederhana: regulasi mana yang membenarkan pembayaran properti melalui akun crypto pribadi seorang WNA?” ujar Ade.
Ade menyebut praktik tersebut berpotensi melanggar UU Mata Uang, peraturan Bank Indonesia tentang sistem pembayaran, serta memunculkan dugaan penghindaran pajak karena aliran dana tidak tercatat dalam laporan keuangan perusahaan.
Ia juga menunjukkan bukti berupa daftar transaksi crypto yang diduga berasal dari para penyewa dan pembeli unit. Menurutnya, hal ini telah menimbulkan kegelisahan masyarakat Bali, mengingat transaksi properti seharusnya tercatat secara resmi sesuai aturan perpajakan.
Selain dugaan penipuan finansial, Ade juga mengungkap sejumlah insiden keamanan yang melibatkan oknum tersebut, termasuk dugaan intimidasi terhadap warga dan upaya masuk paksa ke salah satu unit menggunakan belasan pria. Ia juga mempertanyakan dasar aparat keamanan mengamankan lokasi untuk pihak perusahaan tanpa menghadirkan kedua belah pihak untuk mediasi.
“Pak Budiman ini pengusaha lokal, bukan pejabat negara. Beliau tunduk pada hukum, tapi justru merasa diperlakukan tidak adil,” tegas Ade.
Ade menegaskan bahwa nilai kerugian dan ketidaksesuaian perjanjian sangat signifikan, termasuk adanya catatan internal perusahaan mengenai utang sebesar Rp381,5 miliar. Sementara itu, Budiman juga menghadapi proses hukum lain yang menurut pihaknya muncul justru setelah ia menuntut transparansi keuangan.
Dalam kesempatan tersebut, Ade menyampaikan permohonan resmi kepada Presiden RI Prabowo Subianto, Menteri Hukum dan HAM Prof. Yusril Ihza Mahendra, Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa dan sejumlah kementerian terkait untuk menindaklanjuti persoalan ini. Mereka meminta perhatian khusus terhadap praktik transaksi properti melalui crypto oleh WNA yang disebut dapat merugikan negara serta pengusaha lokal.
Ade juga secara khusus menyarankan agar salah satu komisaris perusahaan yang merupakan anak pejabat negara mengundurkan diri sementara demi menjaga independensi dan mencegah konflik kepentingan dalam proses penyelesaian sengketa.
“Ini bukan hanya soal Pak Budiman. Ini simbol perjuangan pengusaha lokal melawan ketidakadilan,” ujarnya.
Budiman Tiyang berencana membawa kasus ini ke Mabes Polri, mengajukan permohonan Rapat Dengar Pendapat (RDP) di DPR RI, dan meminta media untuk terus mengawal proses hukum yang berjalan. Pihaknya berharap penyelesaian dilakukan secara adil dan transparan.
“Ini bukan tentang siapa yang kuat. Ini tentang keadilan,” pungkas Ade Ratnasari.


