Jakarta – Polemik mengenai izin langsung (direct license) kepada pencipta lagu atau musik yang sempat mencuat ke ruang publik pasca Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 28/PUU-XXIII/2025 akhirnya menemukan titik klimaks. Dalam putusan yang dibacakan pada 17 Desember 2025 tersebut, Mahkamah menegaskan kewajiban Event Organizer (EO) atau penyelenggara acara untuk memperoleh izin penggunaan lagu dan musik dengan membayar royalti melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sebagai bagian dari tata kelola royalti berbasis collective management system.
Hal tersebut disampaikan oleh Assoc. Prof. Dr. Suyud Margono, SH, MH., FCIArb., pakar Hak Kekayaan Intelektual sekaligus Komisioner LMKN, dalam keterangannya di kantor LMKN di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (23/12/2025). Menurutnya, putusan MK tersebut memberikan kepastian hukum sekaligus mengakhiri perdebatan panjang terkait praktik pembayaran royalti dalam pertunjukan musik komersial.
“Permasalahan ini sebelumnya muncul akibat kekhawatiran para penyanyi dan musisi ketika membawakan lagu atau musik dalam pertunjukan, karena adanya potensi larangan dari sejumlah pencipta maupun pemegang hak cipta,” ujar Suyud Margono pada wartawan.
Kondisi tersebut diperkuat dengan adanya Putusan Perkara Hak Cipta Gugatan Ganti Rugi Nomor 92/Pdt.Sus-HKI/Cipta/2024/PN Niaga Jkt.Pst., dengan Penggugat Arie Sapta Hernawan (Ari Bias) melawan Tergugat Agnes Monica Muljoto (Agnez Mo), yang menimbulkan ketidakpastian di kalangan pelaku industri musik.
Lebih lanjut Suyud Margono menjelaskan bahwa inti persoalan terletak pada norma Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, khususnya frasa “Setiap Orang” yang sebelumnya dimaknai dapat menggunakan ciptaan secara komersial dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta, sepanjang membayar imbalan melalui Lembaga Manajemen Kolektif. Melalui Putusan MK Nomor 28/PUU-XXIII/2025, Mahkamah menyatakan frasa tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penyelenggara pertunjukan secara komersial”.
“Perluasan makna frasa ‘Setiap Orang’ ini menegaskan bahwa penyelenggara pertunjukan komersial adalah pihak yang bertanggung jawab membayar royalti kepada LMKN,” paparnya.
Ia juga menuturkan, putusan tersebut sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, yang merupakan peraturan pelaksana dan lex specialis dari Undang-Undang Hak Cipta.
Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap sistem pembayaran royalti, Suyud menilai polemik ini bersifat kontra produktif karena tidak hanya memengaruhi hubungan antara pencipta dan penyanyi atau musisi, tetapi juga berdampak pada ekosistem industri musik, khususnya penyelenggaraan konser.
“Dengan ditegaskannya peran LMKN sebagai pengumpul royalti yang kemudian disalurkan kepada LMK untuk didistribusikan kepada pencipta dan pemegang hak cipta, diharapkan tercipta kepastian hukum, keadilan, serta keberlanjutan ekosistem royalti lagu dan musik di Indonesia,” pungkasnya.


