Jakarta – Pakar Hak Kekayaan Intelektual (HKI), Assoc Prof. Dr. Suyud Margono, SH., MHum., FCIArb., menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diajukan oleh Armand Maulana, Ariel NOAH, dan 27 musisi lainnya, sebagai langkah progresif untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi pelaku seni pertunjukan, khususnya musisi dan penyanyi.
Menurut Suyud, putusan MK dalam Perkara Nomor 218/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Rabu, 17 Desember, pada prinsipnya menegaskan bahwa kewajiban perizinan dan pembayaran royalti dalam pertunjukan musik komersial tidak dibebankan secara langsung kepada penyanyi atau musisi, melainkan kepada penyelenggara acara atau promotor.
“Putusan MK ini menegaskan bahwa mekanisme pengelolaan royalti harus dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), sebagaimana praktik yang berlaku secara internasional. Hal ini penting agar pelaku pertunjukan merasa aman dan nyaman ketika tampil di panggung,” ujar Suyud saat di temui di ITS Tower Nifaro, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (22/12/2025).
Ia menjelaskan, selama ini terdapat ketidakpastian hukum ketika musisi atau penyanyi harus meminta izin langsung kepada pencipta lagu saat melakukan pertunjukan. Padahal, dalam sistem pengelolaan royalti modern, izin dan pembayaran dilakukan melalui LMKN yang bertugas menarik, mengelola, dan mendistribusikan royalti kepada pencipta lagu.
MK dalam putusannya mengabulkan permohonan yang berkaitan dengan Pasal 23 ayat (5), Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 112 ayat (2) UU Hak Cipta, yang menegaskan bahwa penggunaan lagu dan/atau musik dalam pertunjukan komersial, baik melalui penjualan tiket, sponsor, maupun bentuk nilai ekonomi lainnya, wajib disertai pembayaran royalti oleh penyelenggara.
“Artinya, penyanyi atau musisi yang membawakan lagu, baik ciptaan sendiri maupun orang lain, tidak lagi berada dalam posisi rawan secara hukum. Tanggung jawab pembayaran royalti ada pada event organizer sebagai pihak yang memperoleh manfaat ekonomi,” tegasnya.
Suyud menambahkan, putusan MK juga menekankan pentingnya mekanisme imbalan yang wajar dan transparan sebagaimana diatur dalam Pasal 87 UU Hak Cipta. Oleh karena itu, LMKN harus memiliki pedoman tarif yang jelas, serta sistem pendataan lagu yang digunakan dalam setiap pertunjukan agar distribusi royalti kepada pencipta dilakukan secara adil dan akuntabel.
Lebih jauh, ia menilai putusan ini membuka jalan bagi penguatan sistem nasional pengelolaan royalti, termasuk kemungkinan pengembangan pusat data kekayaan intelektual nasional yang mencatat seluruh karya lagu dan musik, baik yang dipublikasikan secara analog maupun digital.
“Ke depan, negara perlu hadir lebih kuat melalui regulasi turunan untuk memastikan perlindungan hak ekonomi dan hak moral pencipta, sekaligus memberikan kemudahan bagi pengguna komersial seperti penyelenggara konser, restoran, kafe, hingga ruang publik lainnya,” ujarnya.
Menurut Suyud, putusan MK ini tidak mengubah hubungan hukum antara pencipta, penyanyi, produser, dan LMKN, melainkan memperjelas dan memperkuatnya. Selain itu, putusan tersebut berpotensi menjadi preseden penting bagi perlindungan hak cipta di sektor seni pertunjukan lainnya, seperti tari, teater, dan koreografi.
“Pesan utama MK adalah menghadirkan keadilan, kepastian hukum, dan pendekatan penegakan hukum yang mengedepankan prinsip restorative justice, sehingga industri kreatif Indonesia dapat tumbuh secara sehat dan berkelanjutan,” pungkasnya.


