Rorano S. Abubakar Soroti Potensi Tumpang Tindih Kewenangan dalam RUU KUHAP

Jakarta – Pengamat Hukum Tata Negara Abd. R. Rorano S. Abubakar mengemukakan keprihatinannya terhadap sejumlah ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang dinilainya masih berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan Agung (Kejagung).

“Hemat saya, ada beberapa pasal dalam RUU KUHAP yang belum secara tegas memisahkan kewenangan antara penyidikan oleh Kepolisian dan penuntutan oleh Kejaksaan,” ujar Rorano saat ditemui wartawan, baru-baru ini.

Menurutnya, ketidakjelasan ini dapat memunculkan kebingungan prosedural dalam praktik, yang pada akhirnya mengganggu efektivitas penegakan hukum dan merugikan pencari keadilan.

Lebih lanjut, Rorano menjelaskan bahwa dalam sistem peradilan pidana yang ideal, harus ada batas yang jelas antara fungsi penyelidikan dan penyidikan oleh Kepolisian dengan fungsi penuntutan oleh Kejaksaan. Namun, dalam RUU KUHAP yang tengah dibahas, masih terdapat beberapa ketentuan yang menurutnya mengaburkan batas-batas tersebut.

Ia menyoroti empat poin krusial yang berpotensi menjadi sumber disharmoni:

Penyidikan Bersama atau Koordinasi yang Tidak Diatur Jelas
RUU dinilai belum mengatur secara rinci mekanisme koordinasi penyidikan antara dua institusi, yang bisa menimbulkan perbedaan tafsir dan konflik kewenangan di lapangan.

Kewenangan Jaksa dalam Tahap Penyidikan
Pemberian kewenangan yang terlalu luas kepada jaksa di tahap penyidikan dikhawatirkan mengganggu independensi Kepolisian dan membingungkan struktur proses hukum.

Efisiensi Penanganan Perkara
Ketidakjelasan batas wewenang dapat memperparah fenomena bolak-baliknya berkas perkara (P19), memperlambat penanganan kasus, serta menimbulkan ketidakpastian hukum.

Akuntabilitas yang Tidak Tegas
Tumpang tindih kewenangan juga dapat membuat sulitnya menetapkan pihak yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau keterlambatan proses hukum.

“Penting sekali untuk memastikan bahwa setiap institusi memiliki mandat yang jelas dan tidak saling intervensi dalam lingkup tugas masing-masing, kecuali dalam kerangka koordinasi yang diatur secara rigid dan transparan,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa RUU KUHAP seharusnya menjadi instrumen yang memperkuat sinergi antarpenegak hukum, bukan menciptakan ketegangan dan tumpang tindih kewenangan.

“Perlu ada penegasan kembali mengenai domain masing-masing lembaga agar tidak ada celah untuk saling mengklaim atau bahkan saling melempar tanggung jawab. Prinsip check and balance harus tetap terjaga dengan pembagian tugas yang proporsional,” pungkas Rorano.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *